Makalah Riba Pembasan Materi Riba

Rumusan Masalah
1. Pengertian Riba
2. Sejarah riba
3. Konsep riba dalam al-quran
4. Macam - macam riba
5. Bank



BAB I

1. Pengertian Riba

Dikutip oleh Prop. Dr. Machazin, MA. dalam khutbah Jum'atnya di Masjid IAIN (UIN sekarang) Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Islam di Indonesia tidak mencerminkan keislamannya, sebaliknya orang barat yang notabene beragama non-Islam pekerjaannya mencerminkan keislaman, bersikap tenggang rasa, tolong menolong dan mempunyai etika dan moralitas ketimbang orang Islam yang ada di Indonesia.
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),6 berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)7 dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).8
6 Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.
Timbullah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.9 Jadi uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.
9 Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan (UPP) AMP YKPN, 2002), hal. 35. menurut Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, bahwa pengertian dari interest atau bunga adalah uang yang dikenakan atar dibayar atas penggunaan uang, sedangkan konsep usury adalah pekerjaan meminjamkan uang dengan mengenakan bunga yang tinggi. Lihat. Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba.11 Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.

 pada pasal 13 huruf C disebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari'ah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara konvensional. Sebaliknya Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syari'ah.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992

2. Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam

Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan demikian, riba dapat diartikan

sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.
Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam) riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.
1. Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat membenci pembungaan uang:

 "Bunga uang tidaklah adil"
 "Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur"
 "Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya"

2. Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.14

3. Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab
keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang".15 Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalu pada pihak yang lain. Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan BATHIL, dan Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.


4. Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: "Janganlah engkau
membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".16 Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak".
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.
Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.
Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan. Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya. 
Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh menambah tenggatnya.20
Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.21
Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain. Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni menangguhkannya."22
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar dengan bunga.
Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.23
Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan.
Ibnu hajar al-Haitsami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya tiap bulan sementara jumlah uang yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran, kalau tidak mampu melunasinya, maka diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.





3. Konsep riba dalam Al-Quran

Dalam Alquran, riba disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda,
yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al-
Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah Âli ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-
Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278
surah al-Baqarah. Keempat surah tersebut secara kronologis menggambarkan
empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran. Pada tahap pertama, keharaman
riba untuk pertama kalinya secara implisit dijelaskan dalam ayat 39 surah
al-Rûm yang berbunyi sebagai berikut:

çF÷s?#;o4qx.y`B
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).‛ (Q.s. al-Rûm [30]: 39).
Penting dicatat, ayat tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat Makkiyyah.
Sebagaimana lazim diketahui, pada umumnya ayat-ayat Makiyyah lebih dominan
berbicara mengenai masalah-masalah akidah (theologi). Pembahasan mengenai
riba dalam ayat 39 surah al-Rûm yang termasuk kategori ayat-ayat Makiyyah itu
menyimpan sebuah indikasi mengenai betapa urgennya masalah riba ini. Secara
eksplisit ayat tersebut menyatakan bahwa riba tidak berimplikasi pada perolehan
pahala. Berbeda dengan zakat yang bila ditunaikan semata-mata untuk menggapai
ridha Allah, pasti pelakunya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda
dari Allah Swt.
Mayoritas ahli tafsir (jumhûr al-mufassirîn) berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba pada ayat tersebut adalah suatu bentuk pemberian (al-
‘athiyyah) yang disampaikan seseorang kepada orang lain bukan dengan tujuan
untuk menggapai rida Allah Swt., tetapi hanya sekadar untuk mendapatkan
imbalan duniawi semata. Karena itu, pelakunya tidak akan memperoleh pahala
dari Allah Swt. atas pemberiannya itu. Hal ini berbeda dengan zakat, yang ketika
Al-Iqtishad: Vol. III, No. 2, Juli 2011 295
menunaikannya, para pelakunya, hanya ingin mendapatkan ridha Allah Swt.1
Namun demikian, meskipun pemberian sesuatu dari seseorang dengan motif
untuk menggapai sesuatu yang lebih banyak (al-ziyâdah) termasuk dalam kategori
riba, ia tetap boleh diterima. Sehubungan dengan hal ini Ibn Abbas menyatakan
sebagai berikut:

 




Riba itu ada dua macam, yakni riba yang haram dan riba yang halal. Riba
yang halal adalah hadiah yang diberikan seseorang dengan motivasi untuk
mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.

Pendapat senada, antara lain, dianut pula oleh al-Qurthubî sebagaimana
tercermin dalam pernyataannya yang berbunyi sebagai berikut:
 
Riba itu berarti tambahan... (al-ziyâdah). Riba itu ada dua macam, yaitu riba
yang haram dan riba yang halal. Riba yang halal itu ialah hadiah yang
diberikan seseorang (kepada orang lain) dengan motif untuk mendapatkan
sesuatu yang lebih baik dibanding hadiah yang diberikannya itu. Pemberi
hadiah yang punya motif seperti ini tidak akan mendapatkan pahala dan
juga tidak terkena dosa.

Contoh pemberian semacam itu, antara lain, adalah ucapan salam yang
disampaikan seseorang kepada orang lain. Kendatipun halal bagi orang lain,
khusus untuk Nabi Muhammad Saw., menurut al-Qurthubî, riba semacam itu
tetap merupakan sebuah tindakan yang haram beliau lakukan. Untuk
1‘Abd al-‘Azhîm Jalâl Abû Zayd, Fiqh al-Ribâ Dirâsah Muqâranah wa Syâmilah li Tathbîqât al-
Mu‘ashirah, (Bayrût: Mu’assasah al-Risâlah, 1425 H/2004M), h. 70
2Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1995), Jilid III, h. 435.
3Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (al-Qâhirah: Dâr al-Sya’b, 1372 H), Jilid XXIII, h. 36.
296 Mujar Ibnu Syarif: Konsep Riba dalam Alquran dan Literatur Fikih
melegitimasi pendapat tersebut, al-Qurthubî menyampaikan dalil berupa firman
Allah dalam ayat 6 surah al-Muddatstsir yang berbunyi sebagai berikut:

ÇÏÈ çŽÏYõ3tGó¡n@ `ãYôJs? Ÿwur
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)
yang lebih banyak. (Q.s. al-Muddatstsir [74]: 6).
Bila dicermati, ayat 39 surah al-Rûm, ternyata tidak secara eksplisit menyebut
tentang keharaman riba. Karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai
apa sesungguhnya yang dimaksud dengan riba pada ayat tersebut. Satu pendapat,
sebagaimana dianut al-Qurthubî menyatakan, yang dimaksud dengan riba
pada ayat tersebut adalah riba yang diharamkan, yakni riba nasî’ah. Pendapat ini
didasarkan pada riwayat dari al-Suddi (Ismâ‘îl ibn ‘Abd al-Rahmân ibn al-
Karîmah, wafat tahun 127 H) yang menyatakan, ayat 39 surah al-Rûm tersebut
turun bertalian dengan kasus riba yang dipraktikkan oleh keluarga Tsâqif.4
Pendapat lain, semisal dianut oleh ‘Abd al-Azhîm Jalâl Abû Zayd sebaliknya
menyatakan, riba yang dimaksud pada ayat 39 surah al-Rûm bukanlah riba yang
diharamkan. Menurut pendapat ini, pendapat al-Qurthubî yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan riba pada ayat tersebut adalah riba yang diharamkan,
yakni riba nasî’ah sebagaimana dipraktikkan oleh keluarga Tsâqif, sama sekali
tidak dapat diterima. Sebab ayat 39 surah al-Rûm termasuk kategori ayat-ayat
Makiyyah. Sementara Tsâqif baru masuk Islam pada periode Madinah, tepatnya
tahun ke-9 H


4. MACAM-MACAM RIBA

Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.

1. Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)

Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.

Riba ini ada dua bentuk:

• Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ًﺔَﻔَﻋﺎَﻀُﻣ ﺎًﻓﺎَﻌْﺿَأ ﺎَﺑﱢﺮﻟا اﻮُﻠُآْﺄَﺗ َﻻ اﻮُﻨَﻣﺁ َﻦْﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡﻳَأ ﺎَﻳ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)

• Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad

Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.


Faedah penting:

Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.

Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.

Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:

1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu:

ﺎًﺑِر ﻮُﻬَﻓ ًﺔَﻌَﻔْﻨَﻣ ﱠﺮَﺟ ٍضْﺮَﻗ ﱡﻞُآ

Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”

Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penambahan nominal (kuantitas) termasuk riba.

2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik



orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.

Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:

• Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”

Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.

• Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh. Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.

Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).

Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.

Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.

• Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan

Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1.  Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Maka pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﱢرﱡﺪﻟا ﻦَﺒَﻟَوُ ،ﺎًﻧْﻮُهْﺮَﻣ نﺎَآ اَذِإ ﻪِﺘَﻘَﻔَﻨِﺑ ﺐَآْﺮُﻳ ﺮْﻬﱠﻈﻟاُ ﺎًﻧﻮُهْﺮَﻣ نﺎَآ اَذِإ ﻪِﺘَﻘَﻔَﻨِﺑ بَﺮْﺸُﻳ
Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.

2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.


2. Riba Fadhl


Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.

Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya Hadits



‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim:

ﻦْﻴَﻤَهْرﱢﺪﻟﺎِﺑ ﻢَهْرﱢﺪﻟا ﻻَو ﻦْﻳَرﺎَﻨْﻳﱢﺪﻟﺎِﺑ رﺎَﻨْﻳﱢﺪﻟا اﻮُﻌْﻴِﺒَﺗ ﻻَ

Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”

Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:

1. Hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

2. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim.

Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.

Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu:

ﺔَﺌْﻴِﺴﱠﻨﻟا ﻲِﻓ ﺎَﺑﱢﺮﻟا ﺎَﻤﱠﻧِإ

Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”

Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:

1. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wujud asal riba.

2. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.

Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.


Riba Nasi`ah (Tempo)

Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).

Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.

Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).

Kaidah Seputar Dua Jenis Riba

1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.

2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.

Ringkasnya:

1. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.

2. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.

3. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.

Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.

Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian: Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).

Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.

Keterangannya:

1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.

2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.

Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.

Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سﺎَﻨْﺟَﻷْاُ ﻩِﺬَه ﺖَﻔَﻠَﺘْﺧا اَذِﺈَﻓ ﺪَﻴِﺑٍ
اًﺪَﻳ ءاَﻮَﺴِﺑٍ
ءاَﻮَﺳً
ﻞْﺜِﻤِﺑٍ
ﻼْﺜِﻣً
ﺢْﻠِﻤْﻟﺎِﺑ ﺢْﻠِﻤْﻟاَوُ
ﺮْﻤﱠﺘﻟﺎِﺑ ﺮْﻤﱠﺘﻟاَوُ ﺮْﻴِﻌﱠﺸﻟﺎِﺑ ﺮْﻴِﻌﱠﺸﻟاَوُ
ﱢﺮُﺒْﻟﺎِﺑ ﱡﺮُﺒْﻟاَو ﺔﱠﻀِﻔْﻟﺎِﺑ ﺔﱠﻀِﻔْﻟاَوُ ﺐَهﱠﺬﻟﺎِﺑ ﺐَهﱠﺬﻟاُ
ﺌِﺷْ
ﻒْﻴَآ اﻮُﻌْﻴِﺒَﻓٍﺪَﻴِﺑ اًﺪَﻳ نﺎَآ اَذِإ
ﻢُﺘْ







“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”

3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).

Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.

Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).

Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha:

ٍﺪْﻳِﺪَﺣ ﻦِﻣْ ﺎًﻋْرِد ﻪَﻨَهَرَوُ ﱟيِدْﻮُﻬَﻳ ﻦِﻣْ ﺎًﻣﺎَﻌَﻃ ىَﺮَﺘْﺷا ﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲاُ ﱠﻰﻠَﺻ ﻲِﺒﱠﻨﻟا ﱠنِإ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Makanan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.





3. Ash-Sharf (Money Changer)


Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.

Telah dijelaskan di atas bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul dan taqabudh, dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul.

Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst.). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.

Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.

Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.


Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.

Dalil jumhur ulama adalah:

1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu 'anhum:

ﺎًﻨْﻳَد قِرَﻮْﻟﺎِﺑ ِﺐَهﱠﺬﻟا ِﻊْﻴَﺑ ﻦَﻋْ ﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲا ﱠﻰﻠَﺻ ِﷲا لْﻮُﺳَر ﻰَﻬَﻧ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)

2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

ٍﺪَﻴِﺑ اًﺪَﻳ ﺎَﻨْﺌِﺷ ﻒْﻴَآ ﺔﱠﻀِﻔْﻟﺎِﺑ ﺐَهﱠﺬﻟا يِﺮَﺘْﺸَﻧَو ﺎَﻨْﺌِﺷ ﻒْﻴَآ ﺐَهﱠﺬﻟﺎِﺑ َﺔﱠﻀِﻔْﻟا يِﺮَﺘْﺸَﻧ نَأْ ﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲاُ ﱠﻰﻠَﺻ ِﷲا لْﻮُﺳَر ﺎَﻧَﺮَﻣَأ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.


Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?


Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan emasnya.”

Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits:

ءﺎَهَو ءﺎَه ﻻِإﱠ ﺎًﺑِر ﺐَهﱠﺬﻟﺎِﺑ ﺐَهﱠﺬﻟاُ

“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”

2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”

Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.

Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).

Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.


Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/ akad ash-sharfnya?


Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.

Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.

Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?

Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.

Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu:

ﺎَﻗﱠﺮَﻔَﺘَﻳ ﻢَﻟْ ﺎَﻣ رﺎَﻴِﺨْﻟﺎِﺑ نﺎَﻌﱢﻴَﺒْﻟاِ

“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.

Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.

Masalah ini perlu perincian:

1. Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.

2. Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.

Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Wallahu a’lam.

Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.


Masalah ini perlu perincian:

1. Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.

2. Bila yang dimaksud adalah akad jual-beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.


Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.


Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.

Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?


Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.


Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)


Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:

1. Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang sama. Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:

a. Masalah hiwalah secara fiqih1
b. Masalah ijarah (sewa jasa)

c. Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah. Keadaan ini diperbolehkan.

2. Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar (misalnya).

Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:

θ Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.

Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.

Mayoritas ulama kontemporerθ berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat.

Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:

1. Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.

2. Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan. Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.


Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?


Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1. Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.

2. Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.

Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf

Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar-menukar mata uang dengan cek.

Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.

Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).

Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?

Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”

Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:

1. Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.

2. Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3. Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.

4. Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.



Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek

mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:

1. Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
2. Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami .

3. Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya:

اًﺮْﺴُﻳ ِﺮْﺴُﻌْﻟا ﻊَﻣ ﱠنِإ

“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6) Juga ayat:

َﺮْﺴُﻌْﻟا ﻢُﻜِﺑ ﺪْﻳِﺮُﻳ ﻻَو َﺮْﺴُﻴْﻟا ﻢُﻜِﺑ ُﷲا ﺪْﻳِﺮُﻳ

“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4. Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.

Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.

Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.


Jual-beli Valas (Valuta Asing)

Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual-beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:

1. Bila jual-beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.

2. Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya taqabudh.

Dengan dasar kaidah di atas, maka:

a. Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b. Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.

c. Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Demikian penjelasan ringkas seputar masalah riba. Sebenarnya masih banyak permasalahan yang perlu diangkat, namun karena keterbatasan lembar majalah ini maka kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya dapat merujuk karya-karya para ulama dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.

Wallahul muwaffiq.

Maraji’:

1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst

2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15

3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i

4. As-Sunnah karya Al-Marwazi




5. Bank

1.  Pengertian Bank
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. O.P. Simorangkir menegaskan bank adalah salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa.Dalam Kamus Ekonomi, bank dirumuskan sebagai sebuahlembaga untuk meminjamkan uang, mengeluarkan uang kertas, atau yang membantu menyimpankan uang.

Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan bahwa dalam pasal 1 butir 2 menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Menurut Masjfuk Zuhdi, Bank non-Islam atau conventional bank ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga; sedangkan Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum syari'at Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam.41

Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki konsep tersendiri, yakni bank Syari'ah yang beroperasi berdasarkan ajaran (syari'at) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip operasional bank konvensional (convensional bank). Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syari'ah memiliki dua pengertian, yaitu:

1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at Islam;

2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan al-Hadits.42

Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank Syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam. Dalam pengertian ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utama.

Selain itu, banyak juga orang yang terjebak ke dalam pengertian bahwa bank Syari'ah itu sama dengan bank tanpa bunga (Zero interest = bunga nol). Pengertian ini memang tidak terlalu salah, karena bank Syari'ah tidak mengenal bunga. Namun pengertian bank Syari'ah tidak hanya mesti sampai di situ, tetapi ia harus dipahami secara komprehensif dan universal. Pemahaman tentang bank Syari'ah tidak hanya dilihat dari aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi makro ke-Islamannya.

Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank Syari’ah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang

membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga. Dengan singkat, Muhammad merumuskan, Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.

2.  Prinsip-Prinsip Bank Syari'ah

Bank Islam dalam menjalankan usahanya mempunyai prinsip operasional yang terdiri dari
(1) sistem simpanan;
(2) bagi hasil;
(3) margin keuntungan;
(4) sewa;
(5) Fee


(1)  Prinsip Simpanan Murni

Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al Wadiah.

Fasilitas Al Wadiah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan giro.

(2) Bagi Hasil

Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan peyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah.

(3) Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up).

(4) Prinsip Sewa

Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis:

4. Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya.

5. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).

(5) Prinsip fee (Jasa)

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, JasaTransfer, dll. Secara syari'ah prinsip ini didasarkan pada konsep al ajr wal umulah.

3.  Perbedaan Bank Islam Dengan Bank Konvensional

Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan dan sebagainya.

Sedangkan perbedaannya sebagai berikut;

Dalam bank syariah, akad memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.Setiap akad dalam perbankan syariah, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut

4. Rukun, Seperti: adanya penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijab-qabul.



3. Syarat, seperti syarat berikut barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah. Harga barang dan jasa harus jelas. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.

Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.

Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.

Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk ditelitikembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-masing lembaga tersebut Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu halyangharus disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagai berikut:

1) Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2) Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3) Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4) Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5) Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6) Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?

Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus skilljul dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi
(tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syari'ah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa senyum adalah sedekah.












Sebagai Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut:

BANK SYARI’AH
BANK KONVENSIONAL




1.
Melakukan
investasi-investasi
Investasi yang halal dan haram

yang halal saja

Memakai perangkat bunga
2.
Berdasarkan prinsip bagi hasil,

jual beli, atau sewa

Profit oriented
3.
Profit dan falah oriented.
4.
Hubungan

dengan
nasabah
Hubungan  dengan  nasabah  dalam

dalam
bentuk
hubungan
bentuk hubungan debitor-debitor

kemitraan.



5.
Penghimpunan dan penyaluran
Tidak terdapat dewan sejenis

dana harus sesuai dengan fatwa


Dewan Pengawas Syari’ah


Berpijak dari uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, bahwa bank syari’ah memiliki perbedaan dengan bank konvensional di antaranya yang paling populer adalah penggunaan perangkat bunga bagi bank konvensional. Sedangkan bank syari’ah berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa.

Makalah Riba Pembasan Materi Riba Makalah Riba Pembasan Materi Riba Reviewed by ego oktafanda on January 30, 2018 Rating: 5

No comments

Search Blog